Kamisan #6 – Martabak Telur : Malam Menjadi Kita

Baru jam 7 ternyata, batinku sambil melirik jam tangan yang ada di pergelangan tanganku. Di depanku, Citra lagi asik bercerita tentang kantor barunya sambil melirik menu. Sudah setengah jam dia berceloteh dengan semangat tentang kantor baru tempat di mana dia bekerja sekarang. Dan sudah setengah jam pula pelayan yang ada di belakangnya menunggu pesanan kami berdua.

“Cit, aku mau bertanya tentang sesuatu.”

“Hah? Apa, Kak?”

“Kamu suka menunggu?”

“Dalam artian apa dulu nih?”

“Hm.. Gimana kalau soal jodoh?”

“Aku jujur sih lebih suka buat menunggu. Mengejar itu melelahkan. Lebih baik aku menunggu sambil membenahi diri sendiri dan membiarkan mereka yang tertarik untuk mendekat.”

“Oh gitu.. Pantes aja..”

“Pantes gimana maksudnya, Kak?”

“Pantes aja pelayan yang ada di belakang kamu itu disuruh nunggu pesenan kita sampe lama banget.”, aku nyengir.

“Loh? Oh iya. Aduh, maaf Mas. Saya keasikan cerita tadi. Hahaha.”

“Iya, Mbak. Ga masalah kok.”, kata si pelayan sambil mesem-mesem.

“Yaudah saya mesen chesstard pancake sama choco latte aja. Kamu mau mesen apa kak?”

“Aku hot supreme choco aja.”

“Loh kamu ga makan? Kamu belum makan dari tadi siang kan Kak?”

“Ga usah. Aku ga laper juga kok.”

“Eh ga boleh gitu. Laper ga laper kamu harus makan. Yaudah Mas. Kami mesen chesstard pancake sama choco latte, terus hot supreme choco, nasi goreng, sama aqua ga dingin.”

“Oke, Mbak. Saya ulangi pesanannya ya. …..” Aku tidak lagi memperhatikan ucapan si pelayan karena asik memperhatikan Citra yang sedang memesan makanan.

“Ih, ngapain sih kamu Kak? Ngeliatinnya gitu banget?”

“Gapapa. Asik aja ngeliatin kamu gitu.” aku kembali nyengir.

“Aku ga suka loh diliatin kayak gitu.” kata dia sambil cemberut.

“Iya iya, aku tau kok. Hehehe. Tapi tetep, enak aja ngeliatin mukamu itu.” kataku sambil tersenyum.

“Kan, mulai kan isengnya. Getok nih!”

Aku tertawa. Selalu menyenangkan melihat dia tersipu malu seperti ini. Beruntung baginya penerangan di cafe tempat kami makan saat ini cenderung  temaram. Jadi rona merah yang ada di wajahnya yang putih itu tidak terlalu kelihatan.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku merogoh saku celana milikku, dan mencari uang seribuan yang memang sengaja telah aku persiapkan.

“Cit, aku mau nanya lagi.” Aku bertanya sambil tanganku sibuk melipat uang seribuan yang aku miliki.

“Apa lagi, Kak?”

Aku terdiam sejenak sambil terus melipat uang seribuan itu. Ketika kertas yang sedang aku lipat sudah hampir menunjukkan bentuk aslinya, aku kembali melanjutkan perkataanku.

“Aku mau serius sama kamu. Gimana menurut kamu?”

Aku memandang matanya sambil mengangkat uang seribuan yang saat ini sudah berubah bentuk menjadi sebuah cincin kertas. Dia tertegun sejenak. Kesejenakan yang ternyata sanggup membuatku merasa bahwa pada saat itu, waktu pasti berhenti berputar.

Waktu memang sesuatu hal yang ajaib. Dia memiliki banyak dimensi. Dimensi-dimensi yang hanya diketahui oleh mereka yang sedang mengalami sebuah kejadian. Bagi orang lain yang tidak sedang berada di dalam dimensi itu, waktu berputar seperti biasa. Tapi bagi mereka yang sedang di dalam dimensi itu, waktu bisa berputar sangat lambat atau sangat cepat. Tergantung kejadian yang sedang mereka alami.

“Kamu yakin, Kak?” katanya setelah beberapa saat terdiam.

Aku tersenyum dan menjawab, “Aku yakin.”

“Boleh aku bertanya alasannya?”

“Karena kamu orang yang tepat.”

“Hanya itu?”

“Aku tidak ingin memberikan alasan lebih dari itu. Aku takut kalau aku memberikan alasan lain, alasan-alasan itu akan memudar seiringnya berjalannya waktu.”

Citra kembali terdiam. Tak lama kemudian dia mengangkat tangan kanannya sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum ketika melihat senyuman itu. Tidak lama kemudian, cincin yang ada di tanganku telah menghiasi jari tengah miliknya.

“Jadi, kita putuskan tanggal ini sebagai hari jadi kita?”

“Eh, ga mau. Aku ga mau ada tanggal jadi tanggal jadian. Kayak ABG ga jelas aja kamu ah Kak.”

“Loh emang kamu belum tahu?”

“Belum tahu apa?”

“Akan selalu ada kenorakan-kenorakan yang bakal bikin orang lain ngomong ‘apaan sih?’ ketika kita jatuh cinta.” Aku mengerling sambil memasang muka tengil.

“Siram nih!”

“Eh iya iya ga lagi lagi deh. Hahaha.” Kataku sambil tertawa.

Tidak lama kemudian, makanan yang kami pesan datang. Tidak seperti biasanya, sesi makan malam kali ini kami lebih banyak diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebenarnya aku kurang nyaman dengan hal seperti ini. Tapi aku berusaha memberikan Citra waktu untuk mencermati apa yang telah terjadi malam ini.

“Nanti cari tukang martabak dulu ya? Aku mau beliin papah sama mamah martabak telur.”, kataku ketika kami sedang berjalan menuju parkiran motor yang memang letaknya agak jauh dari cafe tempat kami makan tadi.

“Hah? Ga usah. Apa-apaan sih kamu, Kak? Kayak apa aja mau beliin oleh-oleh buat orang rumah.”, katanya sambil tertawa.

“Loh aku serius ini. Agak old school sih emang. Tapi cara lama emang yang paling bagus sih menurutku. Banyak tersimpan kearifan lokal di cara-cara lama itu.”

“Ng kata-katamu barusan mau aku halah-in aja apa aku apaan sih-in?”

“Kalau diliat dari definisi halah sama apaan sih punya kamu, mending di halah-in aja deh. Seenggaknya aku tahu kalau halah punya kamu itu tanda kalau kamu bukan ilfil.”

“Ish..” katanya tersenyum sambil mencubit lenganku.

Aku tertawa sambil mengacak-acak rambutnya.

One thought on “Kamisan #6 – Martabak Telur : Malam Menjadi Kita

  1. Empat Sayap July 2, 2014 at 1:21 pm Reply

    casanova emang akan selalu punya banyak trik #eh

Leave a comment